Review Film: Kucumbu Tubuh Indahku
Juno dan Tubuh Indahnya
Film bagus memang tidak tergantung pada berapa besar biaya produksinya. Terbukti dari film berbujet sekitar Rp4 miliar karya sutradara Garin Nugroho dan produses Ifa Isfansyah yaitu Kucumbu Tubuh Indahku. Film ini telah melanglang buana di berbagai festival film di dunia dan kini publik Indonesia dapat menyaksikannya di bioskop nasional sejak 18 April 2019.
Dikenal dengan arahannya terhadap film-film apik bertema seni dan tradisi, Garin hadir dengan film Kucumbu Tubuh Indahku yang menceritakan tentang kisah hidup penari Lengger. Film produksi Fourcolours film ini mengangkat tema seni tari yang sangat lekat dengan kehidupan sosial masyarakat perdesaan. Namun, poin utama dari film ini adalah mengangkat fenomena tentang ketubuhan.
Tubuh manusia, menurut Garin, menyimpan ingatan atau memori dari masa lalu. Baik suka, duka, bahkan trauma. Secara khusus Garin fokus pada ingatan trauma yang dimiliki tubuh manusia sebagai manusia pribadi maupun anggota masyarakat suatu bangsa. Tidak heran kalau penonton akan larut pada kisah hidup tokoh penari Lengger yang sangat hidup dan melekat dalam film ini.
Ide cerita soal penari Lengger sangat langka diangkat dalam film. Garin sebenarnya terinpirasi dari sosok penari dan koreografer ternama Indonesia yaitu Rianto. Dia merupakan penari yang menguasai berbagai jenis tarian, baik tarian maskulin maupun feminin. Kiprahnya telah mendunia dengan karyanya seperti Medium dan Softmachine yang telah dipentaskan berkali-kali di berbagai negara.
Kisah hidup Rianto diangkat dalam layar lebar dengan tokoh bernama Wahyu Arjuno atau Juno. Ditinggal sendirian sejak masa kecilnya, Juno mengalami berbagai pengalaman hidup yang tidak manis. Dalam film, Garin menggambarkan kisah Juno dalam tiga babak yakni masa kecil, masa remaja, dan masa dewasa. Rangkaian hidup Juno tidak hanya merepresentasikan situasi personal, tetapi juga situasi sosial bahkan politik.
Sebagai penari Lengger yang membawakan tarian dengan gaya dan dandanan perempuan, Juno menampilkan dua sisi feminin dan maskulin sekaligus. Problem-problem ketubuhan ini jarang sekali disoroti dalam masyarakat kelas bawah.
“Sisi tubuh yang kita lihat dari kelas menengah bawah itu kan langka sekali, film ini mampu menjalin problem itu dalam perspektif budaya yang jarang sekali diletakkan di film,” kata Garin.
Sisi langka dan sudut pandang yang tampil beda yang ingin ditampilkan Garin melalui tiap adegan. Bagaimana masing-masing tokoh dalam film ini memiliki karakter yang bermasalah dengan ketubuhannya masing-masing. Kehidupan Juno merepresentasikan segelintir kisah yang sebetulnya dapat mewakili citra tubuh manusia secara individu.
“Memvisualisasikan sisi maskulin dan feminin dalam satu tubuh adalah pergolakan yang sangat menantang, tetapi syukurlah saya menemukan pemain yang baik pula,” kata Garin. Dia memilih artis peran yang tepat untuk menggambarkan kedua sisi itu dengan maksimal.
Adapun pemeran Juno dewasa diperankan langsung oleh Rianto, Juno remaja oleh Muhammad Khan, dan Juno kecil oleh Raditya Evandra. Semua aktor ditantang untuk menampilkan tiap karakter dengan apik dan menurut Garin mereka sukses melakukannya.
Menurut Garin, para aktor yang berperan dalam film ini memiliki ‘tubuh’ yang mampu berperan dalam maskulin dan feminin bersamaan. “Ada tubuh personalnya, dan ada tubuh bakatnya,” katanya. Dia berpandangan bahwa akting para pemain dalam film Kucumbu Tubuh Indahku adalah salah satu akting terbaik dari karya-karya yang pernah dibuatnya.
Secara utuh Garin lebih banyak menampilkan sisi feminin pada diri pria dalam film ini. Tidak heran kalau lebih banyak pemeran pria dalam film yang telah tampil di berbagai festival internasional ini. Apresiasi keindahan tubuh laki-laki sangat kuat tergambar dalam adegan demi adegan.
“Sebagian orang mungkin menganggap isu maskulin feminin itu sensitif, tetapi sebetulnya bukan sisi itu yang menjadi poin film ini, tetapi perjalanan tubuh dan traumanya,” ujar produser Ifa Isfansyah. Menurutnya cerita film ini sangat menggelitik karena bercerita tentang perjalanan tubuh manusia.
Proses produksi film oleh rumah produksi independen ini tidak memakan waktu yang banyak, untuk syuting saja hanya 11 hari. Inisiasi awal film ini dimulai sejak awal 2018 dan kemudian dieksekusi pada Mei 2018. “Prosesnya persiapan sekitar 2-3 bulan, kemudian syuting, dan rilis di Venice Film Festival 2018 di Agustus, relatif cepat sih,” katanya.
Sebetulnya bukan kesengajaan bagi tim produksi untuk merilis film ini di festival. Tetapi mengingat jenis film ini termasuk langka, tampil di ajang festival menjadi cukup penting untuk mendapatkan promosi dan kesadaran masyarakat mengenai film ini. “Sejak awal memang sudah didesain setelah festival kita akan ke bioskop,” ujar Ifa.
Proses terlama dalam produksi adalah pengembangan naskah film. Dalam menemukan pemain dilakukan dengan proses casting dan melibatkan aktor-aktor teater dan penari. Ifa mengatakan bahwa kolaborasi antargenerasi dan antarbidang kesenian terasa melekat dalam produksi film tersebut.
Comments
Post a Comment