tika dan amarah - amarahnya

Sebenarnya ini ditulis pada 19 Agustus 2024 


Saya tidak pernah mengenali diri sebagai orang yang pemarah sebelumnya. Tapi, sejak delapan bulan terakhir, saya menemukan ternyata di dalam diri ini banyak sekali menyimpan amarah, bahkan sampai kepada level terkejut ternyata kemampuan saya untuk marah sampai sejauh itu. 

 

Dalam refleksi, sebuah momen menyedihkan menjadi asal muasalnya. Iya, saat ibu saya berpulang. Saat itu, walau saya tampak lebih tenang dibandingkan saat ibu kandung saya berpulang, ternyata perasaan dan pikiran saya karut marut. Momen itu terasa sangat menyedihkan, dan membuat saya sangat marah pada keadaan. Saya menyadari mengapa kematian adalah peristiwa paling mengerikan bagi siapapun yang tidak siap.


Saya bahkan mengutuki adam dan hawa karena seandainya mereka tidak jatuh ke dalam dosa, dunia ini tidak akan pernah mengenal apa itu kematian. Bagi mereka yang telah berpulang, perjuangannya mungkin sudah selesai, iman akan menentukan kemana dia pergi. Tetapi, bagi yang ditinggalkan, ini adalah beban yang luar biasa berat, seperti menyeret – nyeret jangkar kemana pun engkau pergi. Di saat paling random sekalipun, engkau tiba – tiba pilu. 

 

Kemarahan itu seperti menggerayangi jiwa. Tiba – tiba di depan mata muncul orang – orang jahat yang berperan sebagai musuh. Bayangkan, tak pernah sekalipun aku berpikir akan memiliki musuh di dunia ini. Kalau kita saling mengenal, kamu pasti tahu betapa tak bernyalinya aku menghadapi konflik. Si Tika paling kicep kalau harus merusak relasi dengan orang lain. Tapi, ternyata kemarahan itu ibarat sumbu. Aku menjadi berani membenci orang. Dulu selalu diajarkan bahwa kita tidak boleh benci orangnya, tapi benci perilakunya. Tapi kelakuan orang – orang ini di luar nalarku, seolah menarik sumbu – sumbu amarah yang mulai terbakar di jiwaku. 

 

Siapa orang – orang di luar nalar ini? Justru mereka yang dekat, yang menyebut diri keluarga, bahkan yang paling di luar nalar, yang menyebut diri keluarga dalam Tuhan. Tiba – tiba aku tidak lagi mampu memaklumi. Dulu, ketika melihat orang melakukan kesalahan dan berlaku curang, aku berbelas kasihan: kasihan dia tidak tahu dia salah. Sekarang, semua ingin kuterabas, ingin kukatakan di depan mukanya: KAU SALAH DAN KEJAM!

 

Tentu saja itu tidak aku lakukan, dengan alibi akan melupakan persoalan yang mengganggu itu, aku malah memendam amarah – amarah itu sehingga tabungan amarahku jadi banyak melebihi saldo rekeningku.

Tapi ternyata amarah itu merusak jiwa, yang kemudian terwujud dari sikap setiap hari. Aku tidak marah terang – terangan, tapi pikiranku tidak berhenti berpikir. Setiap malam dia bekerja keras sampai tidak bisa tidur. Aku sulit bertoleransi terhadap perilaku – perilaku orang – orang yang melewati batas. Hati dan pikiranku gaduh setiap waktu. Sungguh melelahkan. 

 

Akibatnya, aku marah terhadap diri sendiri. Lalu berputar – putar di situasi yang sama selama berbulan – bulan. Sampai akhirnya, aku mulai bisa melihat Tindakan Tuhan dalam situasi ini. Mungkin sejak awal Tuhan sudah menolong, tapi akunya ogah, karena lebih suka marah. Aku ingin orang – orang yang di luar nalar itu, yang menyakiti dan menzalimi, sadar dengan kesalahannya. Aku ingin mereka yang secara sengaja, entahpun karena ketidaktahuannya, merenungi hilangnya hati nuraninya. Ini yang bikin anjuran Tuhan seolah enggak mempan untuk mengobati amarah tak terkendali. Karena terus kutolak, karena inginku beda dengan inginNya Tuhan. 

 

Suatu waktu di masa amarahku sedikit meredam, Tuhan mengingatkan lagi. Bahwa orang – orang di luar nalar itu memang akan selalu ada, yang bersikap sesuka hati tanpa empati. Semakin kita menolak keberadaanya, semakin sulit kita melihat kenyataannya. Nyatanya, orang – orang yang membangkitkan amarah seperti ini memang akan selalu ada. 

 

Ibarat rumah. Kamu tidak bisa menahan di belakang pintu saat mereka mendobrak masuk. Kamu hanya akan terjungkal, dan lecet. Tapi, biarkan saja dia masuk, bergabung bersama tamu – tamu baik lainnya dalam hidupmu, tapi abaikan dia. Fokus saja pada orang – orang baik yang Tuhan kirimkan untuk menemanimu. Biarkan orang jahat itu di sudut – sudut, berperan sebagai benalu atau apapun yang dia mau. 

 

Setelah itu, perbaiki respons. Selama ini, aku hanya fokus pada perilakunya sehingga menembus pengendalian diriku. Fokusku selama ini hanya pada pertanyaan – pertanyaan: “Kok dia jahat?”, “Kok bisa ada orang sejahat itu di dunia ini?”, “Aku salah apa sampai dicurangi begini?, “Mengapa dia merendahkan saya dan keluarga saya?”, mengapa dan mengapa lainnya yang tidak mungkin bisa dijawab si pembuat onar. 

 

Sekarang si Tika lagi berusaha untuk melepaskan amarahnya satu – satu. Sedang berproses. Semoga bisa bersabar terhadap diri sendiri. Semoga ketidakdewasaan dan amarah tidak terkendali ini bisa segera diatasi. Aku merindukan tika yang mampu mawas diri, yang hidupnya diberkati keberanian untuk sikap – sikap terpuji. 

 

 








Comments

Popular posts from this blog

LEBIH DEKAT MERASAKAN ALAM BERASTAGI

MUSEUM PUSAKA KARO SERPIHAN SEJARAH DI KOTA BERASTAGI

KASIH JUMPAI AKU DISANA