MUSEUM PUSAKA KARO SERPIHAN SEJARAH DI KOTA BERASTAGI



MUSEUM PUSAKA KARO
SERPIHAN SEJARAH DI KOTA BERASTAGI

Tak banyak orang yang mau mengumpulkan serpihan-serpihan sejarah.  Namun tidak dengan Pastor Joosten Leonardus Edigius, beliau yang bukan berasal dari Indonesia dengan rela hati merintis sebuah museum. Museum Pusaka Karo namanya.
Letaknya tepat di tengah Kota Berastagi. Museum ini berada di Jalan Perwira No 3, tepat di sebelah Tugu Perjuangan 45 Berastagi dan Pasar Buah. Belum lama berdiri, bangunan ini telah menjelaskan banyak sekali penjelasan tentang sejarah milik rakyat Karo. Bangunannya sendiri adalah bekas gereja Katolik Berastagi yang telah diserahkan oleh keuskupan Medan untuk dijadikan museum yang menyimpan benda-benda pusaka Karo.
Museum Tampak Depan
Awal perintisannya dimulai dengan keprihatinan akan museum Karo di Desa Raya yang tidak difungsikan secara maksimal pada tahun 70an. Seorang misionaris Belanda bernama Joosten Leonardus Edigius atau yang lebih dikenal sebagai Pastor Leo Joosten Ginting  terpanggil untuk melestarikan sejarah dan kebudayaan Karo yang memang telah dicintainya. 
Akhirnya, sang Pastor mengundang dan membagikan kegelisahan ini kepada masyarakat Karo khususnya yang masih menyimpan dan menggunakan benda-benda bersejarah suku Batak Karo. Tak disangka, sambutan masyarakat amatlah manis, mereka yang dominan masih tinggal di desa berbondong-bondong menyumbangkan benda-benda pusaka, alat-alat pertanian, warisan kesenian serta benda-benda lain yang memiliki nilai sejarah yang tinggi bagi masyarakat Karo. Ada yang menyumbangkan, ada yang menitipkan barang miliknya untuk di rawat dan dipamerkan kembali di museum.
Sebuah kenyataan yang penting adalah benda-benda pusaka yang terdapat di museum ini, rata-rata adalah benda pusaka yang didatangkan kembali dari Belanda. Hal ini terjadi karena pada masa kolonial lalu, banyak sekali antropolog-antropolog luar negeri, khususnya pula Belanda yang tetarik untuk mempelajari kebudayaan dan masyarakat Karo. Sehingga ada beberapa benda yang sempat dibawa mereka ke negaranya masing-masing. Contohnya saja Padung-Padung, adalah anting-anting yang biasanya digunakan oleh perempuan-perempuan Karo zaman dulu. Dengan massa yang cukup berat, satu hingga satu setengah kilogram. Berbeda dengan anting-anting perempuan Karo modern saat ini yang telah dimodifikasi dengan bahan yang lebih ringan.
Selain itu, ada pula Pustaka Lak-Lak , sejenis kitab aksara Karo yang ditulis di kulit kayu. Pustaka Lak-lak ini digunakan oleh Guru Si Baso (dukun) yang digunakan untuk pengobatan-pengobatan, isinya berupa ratapan dan tulisan-tulisan Karo lainnya yang dituliskan dan hanya dimengerti oleh Guru  Si Baso tersebut.
Awal masuk, ruangan yang megah ini terasa cukup sakral. Disambut dengan replika rumah adat Karo Rumah Siwaluh Jabu dengan sepasang patung model mengenakan busana khas Karo. Di sisi kanan, terdapat berbagai jenis benda-benda pusaka yang digunakan oleh masyarakat Karo zaman dahulu untuk bertani dan berternak. Benda-benda yang termasuk dalam koleksi museum ini seperti  Lagan, Untai-Untai,. Tutu-Tutu, Baka, Bentang, Bubu, Gumbar, Kitang, Kudin Gelang-Gelang, Kudin Taneh, Kuran, Petak Rantau, Pisau Tumbuk Lada, Tabu-Tabu, Tambe, Ingan Tendang, Tumba Lau, Raga Dayang-Dayang, Kampil Gawa-Gawa, Capah  dan sebagainya. 
Catur Karo
Adapula Gundala-Gundala sejenis topeng Karo yang ukurannya amat besar, dulunya tujuannya untuk menakut-nakuti burung di sawah yang kemudian berkembang dalam setiap upacara adat Karo. Gundala-Gundala juga digunakan dalam upacara adat untuk memanggil hujan atau Ndilo Wari Udan. Bahkan dalam perkembangannya, Gundala-Gundala digunakan untuk menyambut tamu kehormatan di Tanah Karo. Namun saat ini, penggunaan Gundala-Gundala hanya kerap digunakan oleh masyarakat Karo di daerah Singalor Lau. 
Berbagai jenis benda-benda lain seperti senjata, kain adat, tongkat, jimat bahkan busana dan aksesorisnya dikumpulkan dan dijaga di museum ini. Dindingnya dihias dengan ornamen Karo seperti pengeret-ret yang dominan berwarna merah dan hitam.
Lembaga museum ini juga turut serta dalam membuat replika rumah adat Karo yang terletak di kawasan Gereja Katolik St. Fransiskus Asisi Berastagi. Dengan menggunakan seluruh bahan yang masih kuat dari rumah adat aslinya yang berada di desa Dokan. Nama rumah adat itu diberi nama “Rumah Gugung Tirto Meciho.” Rumah adat ini merupakan hasil restorasi.
Melepas rindu akan budaya kental Karo melalui benda-benda pusaka Karo memang sangat tepat dilakukan disini. Hampir setiap pengunjung akan terpana, banyak sekali benda-benda yang selama ini tidak dikenal dengan baik oleh generasi masa kini. Kekaguman akan unik dan indahnya benda-benda budaya masa dulu pasti dirasakan oleh setiap pengunjung yang hadir. Bagi mereka yang berusia senja, museum ini akan menjadi kenangan dan nostalgia yang amat membekas. Bagi orang-orang yang hidup pada masa kini, akan melihat kekayaan budaya yang patut dilestarikan keberadaannya.
Koleksi museum ini diperkirakan akan terus bertambah. Harapannya masih banyak lagi masyarakat yang mau mendukung museum ini menjadi salah satu cagar budaya. Tidak hanya memperhatikan dan melindungi aspek fisik dari benda-benda pusaka, namun juga memandang kearifan-kearifan lokal yang harus tetap dipertahankan.
Tidak dikenakan biaya untuk mengunjungi museum ini, pengunjung dapat memberikan sumbangan sukarela untuk menopang biaya perawatan museum ini. Kriswanto Ginting sebagai wakil direktur menyatakan bahwa kesadaran masyarakat dan dukungan pemerintah belum terlalu tinggi untuk pemeliharaan museum ini. Para donatur juga tak bisa menjadi donatur tetap sepanjang tahun sehingga ada kekhawatiran tersendiri untuk pemeliharaan museum pusaka ini. Sayang sekali memang, jika bangsa sendiripun tak mengerti pentingnya menjaga dan melestarikan budaya agar tak punah dimakan zaman. Seharusnya menjaga kelangsungan hidup benda pusaka, menjadi harga mati. 

Tika Anggreni
(Tulisan ini telah dimuat di Majalah KOVER Edisi Juli)

tidak boleh plagiat ya :)


 




Comments

Popular posts from this blog

LEBIH DEKAT MERASAKAN ALAM BERASTAGI

KASIH JUMPAI AKU DISANA