MUSEUM PUSAKA KARO SERPIHAN SEJARAH DI KOTA BERASTAGI
MUSEUM PUSAKA KARO
SERPIHAN SEJARAH DI KOTA BERASTAGI
Tak banyak orang yang mau
mengumpulkan serpihan-serpihan sejarah. Namun tidak dengan Pastor Joosten Leonardus
Edigius, beliau yang bukan berasal dari Indonesia dengan rela hati merintis
sebuah museum. Museum Pusaka Karo namanya.
Letaknya tepat di tengah Kota
Berastagi. Museum ini berada di Jalan Perwira No 3, tepat di sebelah
Tugu Perjuangan 45 Berastagi dan Pasar Buah. Belum lama berdiri, bangunan ini telah menjelaskan banyak
sekali penjelasan tentang sejarah milik rakyat Karo. Bangunannya sendiri adalah
bekas gereja Katolik Berastagi yang telah diserahkan oleh keuskupan Medan untuk
dijadikan museum yang menyimpan benda-benda pusaka Karo.
Museum Tampak Depan |
Akhirnya, sang Pastor mengundang dan
membagikan kegelisahan ini kepada masyarakat Karo khususnya yang masih
menyimpan dan menggunakan benda-benda bersejarah suku Batak Karo. Tak disangka,
sambutan masyarakat amatlah manis, mereka yang dominan masih tinggal di desa
berbondong-bondong menyumbangkan benda-benda pusaka, alat-alat pertanian,
warisan kesenian serta benda-benda lain yang memiliki nilai sejarah yang tinggi
bagi masyarakat Karo. Ada yang menyumbangkan, ada yang menitipkan barang
miliknya untuk di rawat dan dipamerkan kembali di museum.
Sebuah kenyataan yang penting adalah
benda-benda pusaka yang terdapat di museum ini, rata-rata adalah benda pusaka
yang didatangkan kembali dari Belanda. Hal ini terjadi karena pada masa
kolonial lalu, banyak sekali antropolog-antropolog luar negeri, khususnya pula
Belanda yang tetarik untuk mempelajari kebudayaan dan masyarakat Karo. Sehingga
ada beberapa benda yang sempat dibawa mereka ke negaranya masing-masing.
Contohnya saja Padung-Padung, adalah
anting-anting yang biasanya digunakan oleh perempuan-perempuan Karo zaman dulu.
Dengan massa yang cukup berat, satu hingga satu setengah kilogram. Berbeda
dengan anting-anting perempuan Karo modern
saat ini yang telah dimodifikasi dengan bahan yang lebih ringan.
Selain itu, ada pula Pustaka Lak-Lak , sejenis kitab aksara
Karo yang ditulis di kulit kayu. Pustaka
Lak-lak ini digunakan oleh Guru Si
Baso (dukun) yang digunakan untuk pengobatan-pengobatan, isinya berupa
ratapan dan tulisan-tulisan Karo lainnya yang dituliskan dan hanya dimengerti
oleh Guru
Si Baso tersebut.
Awal masuk, ruangan yang megah ini
terasa cukup sakral. Disambut dengan replika rumah adat Karo Rumah Siwaluh Jabu dengan sepasang
patung model mengenakan busana khas Karo. Di sisi kanan, terdapat berbagai
jenis benda-benda pusaka yang digunakan oleh masyarakat Karo zaman dahulu untuk
bertani dan berternak. Benda-benda yang termasuk dalam koleksi museum ini
seperti Lagan, Untai-Untai,. Tutu-Tutu, Baka, Bentang,
Bubu, Gumbar, Kitang, Kudin Gelang-Gelang, Kudin Taneh, Kuran, Petak Rantau,
Pisau Tumbuk Lada, Tabu-Tabu, Tambe, Ingan Tendang, Tumba Lau, Raga
Dayang-Dayang, Kampil Gawa-Gawa, Capah dan
sebagainya.
Catur Karo |
Berbagai jenis benda-benda lain
seperti senjata, kain adat, tongkat, jimat bahkan busana dan aksesorisnya
dikumpulkan dan dijaga di museum ini. Dindingnya dihias dengan ornamen Karo
seperti pengeret-ret yang dominan
berwarna merah dan hitam.
Lembaga museum ini juga turut serta
dalam membuat replika rumah adat Karo yang terletak di kawasan Gereja Katolik St.
Fransiskus Asisi Berastagi. Dengan menggunakan seluruh bahan yang masih kuat
dari rumah adat aslinya yang berada di desa Dokan. Nama rumah adat itu diberi
nama “Rumah Gugung Tirto Meciho.” Rumah adat ini merupakan hasil restorasi.
Melepas rindu akan budaya kental Karo
melalui benda-benda pusaka Karo memang sangat tepat dilakukan disini. Hampir
setiap pengunjung akan terpana, banyak sekali benda-benda yang selama ini tidak
dikenal dengan baik oleh generasi masa kini. Kekaguman akan unik dan indahnya
benda-benda budaya masa dulu pasti dirasakan oleh setiap pengunjung yang hadir.
Bagi mereka yang berusia senja, museum ini akan menjadi kenangan dan nostalgia
yang amat membekas. Bagi orang-orang yang hidup pada masa kini, akan melihat
kekayaan budaya yang patut dilestarikan keberadaannya.
Koleksi museum ini diperkirakan akan
terus bertambah. Harapannya masih banyak lagi masyarakat yang mau mendukung
museum ini menjadi salah satu cagar budaya. Tidak hanya memperhatikan dan
melindungi aspek fisik dari benda-benda pusaka, namun juga memandang
kearifan-kearifan lokal yang harus tetap dipertahankan.
Tidak dikenakan biaya untuk
mengunjungi museum ini, pengunjung dapat memberikan sumbangan sukarela untuk
menopang biaya perawatan museum ini. Kriswanto Ginting sebagai wakil direktur
menyatakan bahwa kesadaran masyarakat dan dukungan pemerintah belum terlalu
tinggi untuk pemeliharaan museum ini. Para donatur juga tak bisa menjadi
donatur tetap sepanjang tahun sehingga ada kekhawatiran tersendiri untuk
pemeliharaan museum pusaka ini. Sayang sekali memang, jika bangsa sendiripun
tak mengerti pentingnya menjaga dan melestarikan budaya agar tak punah dimakan
zaman. Seharusnya menjaga kelangsungan hidup benda pusaka, menjadi harga mati.
Tika Anggreni
(Tulisan ini telah dimuat di Majalah KOVER Edisi Juli)
tidak boleh plagiat ya :)
Tika Anggreni
(Tulisan ini telah dimuat di Majalah KOVER Edisi Juli)
tidak boleh plagiat ya :)
Comments
Post a Comment