JURNALISME INVESTIGASI

Jika ditilik dari esensi jurnalisme, maka kita akan mengetahui bahwa memberikan informasi yang lengkap dan jelas merupakan inti dari tugas yang dikerjakan oleh seorang jurnalis. Kewajiban pertama jurnalisme adalah kebenaran. Kebenaran yang dimaksud bukan sekadar tidak berat sebelah, keseimbangan, akurasi dan verifikasi dalam pemberitaan atas fakta informasi di lapangan. Kebenaran juga mencakup komitmen, komitmen untuk memiliki loyalitas utama adalah indepedensi terhadap publik. Jurnalisme adalah teori dan praktik tentang media massa.

Terkait dengan kebenaran yang sesungguhnya cukup kompleks tersebut, seharusnya kita semakin mengerti bahwa tugas seorang jurnalis adalah tugas yang sangat mendalam. Pada hakikatnya, seorang jurnalis seharusnya adalah seorang yang skeptic dan tidak mudah menyerah mendapatkan informasi yang tepat dan akurat. Jurnalisme investigasi adalah sebuah metode peliputan untuk mengungkap suatu kebenaran kasus atau peristiwa. Wartawan investigasi dituntut untuk mampu melihat celah pelanggaran, menelusurinya dengan energy reportase yang besar, membuat hipotesis, menganalisis dan pada akhirnya menuliskan laporannya. Banyak sekali hal yang menyimpang dalam masyarakat yang penting untuk diinformasikan, termasuk didalamnya mengusut kesalahan, menemukan kebenaran dan mengadakan perubahan ( Ganto).

Robert Greene menyatakan jurnalisme investigasi sebagai karya seseorang atau beberapa wartawan atas suatu hal yang penting buat kepentingan masyarakat namun dirahasiakan oleh mereka yang terlibat. Liputan investigasi adalah ide orisinil dari wartawan, subyek investigasi merupakan kepentingan bersama dan ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan kejahatan ini dari hadapan publik.
Jurnalisme investigasi juga bercerita tentang sebuah kebutuhan akan kejelasan informasi. Jurnalisme adalah sebuah filosofi yang didalamnya ada kepercayaan akan asas akuntabilitas dan peran media sebagai katalisator( Saur Hutabarat). Asas akuntabulitas berkenaan dengan keseluruhan informasi yang disampaikan harus dapat dipertanggungjawabkan. Akuntabilitas ini juga tidak jauh esensinya dengan transparansi. Sehingga dalam setiap aplikasinya, seorang jurnalis adalah jawaban dari pertanyaan siapa yang ahrus bertanggung jawab. Informasi yang digali tidak abstrak dan justru harus dipertimbangkan akibat dan solusi dari peristiwa atau permasalahan yang ditemukan.

Sedangkan dalam perannya sebagai katalisator adalah ketika informasi melalui jurnalisme investigasi akan mempengaruhi bagian yang cukup sensitif dan berhubungan dengan kepentingan orang banyak. Jurnalisme investigasi adalah sebuah proses untuk membongkar sebuah fakta. Dari segi aplikasi yang dilakukan , maka sistem pengumpulan informasi dan proses pembongkaran fakta ini bekerja dari luar ke dalam. Artinya, sumber-sumber itu berawal dari narasumber utama, melalui pengecekan dokumen serta sumber berita yang sah. Keberadaan Jurnalisme investigasi ini juga bercerita tentang keberhargaan dan seberapa penting berita tersebut. Sebelum melakukan uji langsung ke lapangan, jurnalis-jurnalis juga biasanya akan membentuk sebuah prosedur dan arahan investigasi akan muncul sebuah hipotesa dasar dalam penelusuran sebuah fakta.

Hipotesa itu yang kemudian menjadi sebuah fokus khusus yang akan dijadikan arahan dalam peliputan investigasi. Tentu saja, pengujian akan kesahihan berita atau informasi yang disampaikan adalah sebuah berita yang telah diuji secara teliti. Informasi-informasi yang diberikan kepada masyarakat adalah informasi riil yang mengundang mayarakat berpikir secara lebih kristis dan hati-hati.


JURNALISME INVESTIGASI
DAN HUKUM MEDIA MASSA


Jika kita perhatikan lebih saksama, maka kita akan menemukan sebuah kondisi dimana saat ini media massa sekarnag ini sangat jarang melakukan jurnalisme investigasi. Padahal seharusnya jurnalis adalah orang-ornag yang seharusnya berpikir kritis terhadap berbagai hal. Khususnya yang menyangkut kepentingan umum. Jurnalisme investigasi seharusnya lebih sering dilakukan.

Dalam hal inilah, seharusnya media bertindak melalui wartwan sebagai penyelidik. Tentu saja orang yang terlibat didalamnya itu bukanlah orang-orang yang duduk diam dibelakang meja, namun orang-orang yang bergerak turun kelapangan dan mencari serta menggali informasi. Sesungguhnya, wartawan atau jurnalis adalah orang-orang yang menyelidiki bagaikan seorang detektif untuk mengungkap semua yang tersembunyi dan terselubung. Ibaratnya membongkar udang dibalik batu, mencari fakta dibalik berita. Juralisme investigasi juga bukan sebatas membongkar aib seseorang, namun pula dengan tujuan mulia memenuhi hak public atau masyarakat untuk mendapatkan informasi yang tepat.
Tidak heran pula sebenarnya, jika kita juga semakin memahami bahwa “bad news is a good news” yang sering diungkapkan oleh jurnalis itu adalah benar. Namun dalam konteks, bahwa “bad news” yang dimaksud, adalah suatu persoalan menyimpang yang menyangkut kepentingan dan kemakmuran rakyat. Skandal-skandal politik dan ekonomi, layak untuk dikuak karena berhubungan dengan kepentingan rakyat. Walau kondisi yang terlihat saat ini, di Indonesia khususnya, proses pelaksanaan jurnalisme investigasi masih terbatas sumber daya dan dana.

Saya kemudian berpikir, jika jurnalisme investigasi ini tidak dilaksanakan lagi, bahkan tidak dilakukan oleh media-media pemberi informasi. Betapa dangkalnya informasi yang diterima dan yang dikerjakan oleh seorang jurnalis. Ibaratnya, setiap peritiwa mungkin hanya sebatas angin lalu yang ditunggu kapan terbongkarnya. Jurnalisme investigasi dan nalurinya sebaiknya dimiliki oleh wartawan-wartawan yang saat ini memiliki dedikasi terhadap masyarakat melalui media.


Dalam kaitannya dengan hukum media massa, ternyata jurnalisme investigasi ini selain terbatas dalam sumber daya dan dana. Seringkali pelaksanaannya juga tersangkut hukum, khususnya hukum media massa, baik dalam proses pengumpulan informasi, pembongkaran fakta, hingga sampai pada pemberitaan. Hukum media massa, yang mengatur didalamnya terkadang membatasi bahkan membuat hambatan-hambatan berarti dalam pelaksanaannya. Agaknya, hukum media massa cukup menambah kerumitan dalam proses jurnalisme investigasi. Namun, disaat kondisi bertolak belakang seperti inilah, yang seharusnya menjadi sebuah pelajaran penting bagi media agar wartawannya juga memperhatikan sisem yang kompleks ini, agar tidak melanggar satupun diantaranya.

Jika dikatakan dalam perjalanannya jurnalisme investigasi dalam prosesnya mengharuskan wartawan menjadi seperti detektif yang dapat mengungkapkan yang tersembunyi. Maka seharusnya kita juga mengerti bahwa prosedur ini juga tidak boleh jauh dari kekreatifan dan kecerdasan. Cara-cara yang digunakan dalam proses peliputan juga seharusnya adalah cara yang sesuai dengan prosedur hukum. Cukup banyak kasus, yang ketika pemberitaan dilakukan mengundang permasalahan baru terkait hukum media massa dan kode etik jurnalistik.

Berikut ini saya tampilkan beberapa contoh kasus dan analisis terkait hukum media massa:

1. Penyamaran Jurnalis untuk mendapatkan informasi
- Untuk mengetahui bagaimana bisnis narkoba dan kehidupan dalam penjara, seorang reporter di Chicago melamar dan mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga keamanan di penjara.
Jika, diperhatikan dan dikaitkan sengan hukum media massa, maka kasus ini akan melanggar Undang-Undang Pidana dengan tindakan kejahatan memata-matai.

- Untuk memastikan pengamanan bandara terhadap terorisme, seorang wartawan memakai tanda pengenal palsu sebagai petugas bandara dan dengan mudahnya memasuki akses-akses dikawasan terlarang termasuk didalam bagasi pesawat.
Jika terkait dengan hukum makan kita juga sepakat, maka yang dilakukan oleh wartawan ini adalah pemalsuan identitas.

Ada yang berpendapat bahwa wartawan investigasi boleh menerobos batas hukum demi kepentingan publik. Memasuki halaman orang lain tanpa izin. Wartawan investigasi melakukan kajian yang lebih mendalam. Harus berani mengungkap fakta yang dianggap salah. Menurut saya, penyamaran boleh dilakukan hanya demi kepentingan publik. Wartawan dibenarkan melakukan penyamaran untuk mendapatkan informasi yang lengkap. Karena peliputan investigasi membutuhkan bukti dan saksi, jika bukti otentik didapatkan hanya melalui penyamaran, hal tersebut sah dilakukan. Menurut Dandhy Dwi Laksono, wartawan dibolehkan melakukan penyamaran dan tidak mengungkapkan identitasnya sebagai wartawan. Justru penyamaran adalah sebuah upaya mendapatkan berita yang tidak melanggar etika. Wartawan dilihat debagau sebuah taktik, bukan tindakan pelanggaran. Penyamaran bisa dilakukan dengan cara berbaur dengan target peliputan, kemudian penyamaran bisa dilakukan dengan cara menempel sumber lain untuk mendekati target, semikian pula dengan pemantauan jarak jauh.

2. Pengambilan informasi dengan kamera tersembunyi (hidden camera)
- Dua wartawan Belanda harus diadili atas tuduhan melakukan pelanggaran privasi. Setelah permintaan melakukan wawancara ditolak dua orang wartawan Belanda tersebut memutuskan menemui Heinrich Boero pada tahun 2009, seorang bekas anggota Schutzstaffel atau SS, organisasi keamanan dan militer milik pastai Nazi Jerman yang didirikan pada tahun 1925. Dia dinyatakan bersalah karena telah menghabisi nyawa tiga orang Belanda pada tahun 1941. Dua wartawan tersebut nenbawa kamera rahasia dan mendatangi rumah jompo tempat tinggal boere. Namun setelah hasil wawancara ditayangkan ditelevisi Belanda, Boere melaporkan tindakan tersebut sebagai pelanggaran privasi kepada Dewan Wartawan Belanda.
- Wartawan televisi CBS melakukan investagi terhadap jaringan swalayan food Lions di Amerika Serikat. Ada informasi bahwa mereka menjual daging kadaluarsa dengan mengubah tanda layak konsumsi. Si wartawan melamar menjadi pelayan dan memasang sebuah kamera tersembunyi yang disembunyikan dirambut kribonya. Setelah dipublikasikan, food Lions menggugat televisi CBS dengan tuduhan mendapatkan berita dengan cara kriminal . selain itu, penggunaan kamera tersembunyi dianggap tidak etis dan merupaka kejahatan memata-matai. Juga dituding melakukan penayangan berita tersebut tanpa konfirmasi sehingga melanggar kode etik jurnalistik tentang prinsip keseimbangan.
Jika kita memandang dari segi kode etik jurnalistik maka wartawan tidak boleh menghalalkan segala cara untuk melakukan peliputan investigasi. Sekalipun menggunakan teknik-teknik pengusutan wartawan harus tetap mempertimbangkan moral, etika dan hukum. Kasus pertama diatas, tidak dianggap bersalah oleh dewan wartawan Belanda. Mereka dibenarkan dengan langkah pengusutan menggunakan kamera rahasia. Sebab, kepentingan masyarakat yang dipertimbangkan dalam kasus tersebut. Walaupun akhirnya, dalam kasus ini pengadilan Jerman berpendapat lain. Menurut Wallraff, penggunaan kamera rahasia dalam “hukum formal” memang dilarang, namun kepentingan umum dalam penyiaran sebuah kasus juga harus dipertimbangkan. Menurut saya, cukup terlihat ketidaksinkronan dalam hal ini, terkait hukum formal dan hukum media massa. Sama seperti penyamaran, penggunaan kamera tersembunyi boleh dilakukan hanya demi kepentingan publik.

3. Menyebarkan informasi rahasia milik badan publik tertentu (UU Publik)
Keberadaan Undang Undang Publik tampaknya memberikan nuansa baru yang cukup mengkhawatirkan keberadaan jurnalisme investigasi. Ada sebuah pasal dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang akan berdampak bagi jurnalisme investigasi. Aturan yang menyebutkan bahwa seorang wartawan dapat dipidana penjara sampai tiga tahun, jika terbukti membocorkan informasi milik badan public tertentu yang dikategorikan “rahasia”. Saya sepakat jika ini akan merepotkan karena tugas-tugas jurnalisme investigasi yang menuntut adanya informasi-informasi yang lebih mendalam. Bisa saja, pasal ini akan digunakan untuk menghalangi wartawan untuk mendapatkan informasi-informasi mendalam dari sumber alternative seperti selama ini.

4. Memberitakan informasi yang mengungkap kebobrokan pemerintah dan Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Saya sepakat bila Jurnalisme Investigasi adalah sifat jurnalisme yang harus dilakukan oleh setiap wartawan. Salah seorang wartawan senior “Mocthar Lubis” adalah salah satu wartawan yang cukup kristis dalam mengungkap kasus korupsi dan skandal seks. Pada ma situ pula, Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani ditangkap di Bandara. Tentu saja, penangkapan seorang menteri adalah sebuah berita yang menunjukkan betapa pemimpin-pemimpin negeri tidak berada pada kondisi dan sifat yang baik. Saat ini, kita akan mengetahui bahwa jika terjadi lagi kasus seperti itu dan muncul “Mochtar Lubis” yang baru , maka pemerintah akan dengan mudah menjerat dengan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang ini juga cukup melemahkan Jurnalisme Investigasi, karena lebih banyak pemilik media mencari aman saja.
REFERENSI

http://www.lbhpers.org/berita
http://www.kompas.com
http://dheroize.blogspot.com/2011/06/JurnalismeInvestigatif
http://alexrangbukik.blogspot.com
http://groups.yahoo.com/groups/indonesianstudies/
http://asiaaudiovisualalex)(adibganteng.wordpress.com
http://perpustakaansragen.blogspot.com/2010/09/membumikanjurnalismeinvestigasi
http://dlapan-forum.blogspot.com/2011/05/jurnalismeinvestigasi

Comments

Popular posts from this blog

LEBIH DEKAT MERASAKAN ALAM BERASTAGI

MUSEUM PUSAKA KARO SERPIHAN SEJARAH DI KOTA BERASTAGI

Ada Masa Depan Cerah Bagi Ekonomi Syariah: Yuk Investasi Logam Mulia!