Jangan Merugi Gara-gara Tak Kritis Jadi Pembeli


Salah satu masalah besar yang sering dialami konsumen adalah tertipu. Tertipu soal harga, kualitas, bahkan manfaat dari produk dan jasa yang dibeli. Bukan saja karena produsen atau penjual yang cerdik mempermainkan konsumen, tetapi gara-gara konsumennya yang kurang bijak ketika membeli. 

Penulis: Tika Anggreni Purba
--

Menjadi konsumen cerdas di era digital mesti kritis dan bijak. (Sumber foto: Clark.com)

“Ini produk dari luar negeri Mbak, bagus banget, tinggal satu-satunya nih yang belum terjual,” kata pemilik toko pakaian pada saya.
“Oh ya?  tapi modelnya aku enggak suka,” saya menyahut.
“Wah kamu nanti menyesal lo, ini kualitas impor, untuk kamu saya jual murah deh, enggak apa,” katanya lagi meyakinkan.
“Ehmm, tapi warnanya kurang pas, tapi ya sudah saya ambil,” kata saya berat. 

Begitulah pembicaraan singkat saya ketika bertransaksi dengan penjual di sebuah toko pakaian di pasar tradisional. Akhirnya saya jadi membeli pakaian yang ditawarkan penjual toko, padahal saya tidak menyukai model pakaian itu. 

Namun, karena kepengin punya baju impor, saya tergiur sekaligus juga tertipu. Saya terpengaruh dengan bujukan si penjual. Ketika saya mencobanya di kamar ganti, si penjual terus menerus memuji baju itu cocok di badan saya.

Kala itu, saya baru berusia 17 tahun, untuk pertama kalinya membeli pakaian sendiri tanpa ditemani orangtua. Sampai hari ini, pakaian yang dibeli dengan harga murah itu tidak pernah dipakai. Toh memang jelek. 

Sejak hari itu saya bertekad untuk lebih tegas dan bijak sebelum membeli barang apapun. Saya yakin, pengalaman seperti ini tidak hanya dialami oleh saya. Masih banyak sekali konsumen di negeri kita yang menerima produk barang dan jasa apa adanya, tanpa berani protes.

Padahal hak dan kewajiban konsumen dilindungi dalam undang-undang lo, yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999. Dengan mempelajari hak dan kewajiban konsumen, kita bisa menjadi konsumen cerdas (koncer) yang lebih bijak dan juga terlindungi.  

Masih berlaku di era digital?
Nah, kalau cerita saya di atas terjadi di masa era digital belum berjaya, apakah kesadaran konsumen untuk cerdas dan bijak membeli masih relevan saat ini? Tentu dong! 

Koncer akan terus berlaku selama transaksi dagang masih terjadi di dunia ini. Baik dalam transaksi konvensional, maupun transaksi digital. Bahkan khususnya di era digital, justru konsumen wajib lebih cerdas. Di zaman now, kita tidak boleh lagi jadi konsumen yang asal nrimo. 

Kesuksesan e-dagang alias e-commerce menjadi salah satu bukti bahwa transaksi perdagangan di era digital sudah menjadi bagian hidup kita. Saya sendiri, orang yang lebih senang belanja daring (online) ketimbang transaksi langsung. Selain karena tidak ingin kejadian tadi terulang lagi, belanja online jauh lebih simpel dan praktis.

Semakin praktis kita melakukan transaksi, semakin teliti pula harusnya kita sebelum membeli. (Sumber foto: PCQuest.com)

Namun, sebagai pembeli dagangan online, barang tidak kita lihat dan sentuh di depan mata. Kita pun tidak bertemu langsung dengan penjual. Calon konsumen biasanya memilih barang berdasarkan foto dan deskripsi barang yang dibuat oleh penjual. 

Si penjual pun tak diketahui wajahnya seperti apa, sebab yang ada hanya nama toko dan informasi toko. Kalau deal, transaksi terjadi, kalau tidak ya tidak masalah. Bisa dibilang, hubungan konsumen dan penjual di era digital itu menjunjung prinsip kepercayaan. 

Nah, dalam sistem ‘kepercayaan’ seperti itulah kita dituntut menjadi konsumen yang cerdas sebelum membeli. Soalnya kekecewaannya akan lebih besar kalau ternyata barang yang kita beli tidak sesuai dengan angan-angan atau ternyata tidak bermanfaat. Yang rugi? Tentu konsumen. 

Jadi sebelum merugi, yuk belajar jadi konsumen cerdas di era digital! Mari kita bahas kiat menjadi koncer di era digital. 

Pertama, kita perlu memahami bahwa belanja online bukanlah hal baru lagi di zaman modern ini. Karena itu kita sebaiknya mengetahui dan mengenal jenis-jenis perdagangan daring yang kini banyak digunakan. 
Baik dari skala kecil seperti toko daring (online shop), e-dagang, maupun skala lebih besar yaitu market place. Dengan begitu, kita bisa memilih tempat belanja yang tepercaya. 

Salah satu ciri tempat belanja daring yang aman dan tepercaya adalah apabila penjual berani memberikan jaminan atau garansi terhadap produk yang dijualnya. 

Jadi ketika kita menerima barang yang tidak sesuai dengan deskripsi atau rusak, kita bisa mengembalikannya dan membatalkan transaksi. Alangkah lebih baik lagi jika penjual menyediakan layanan “bayar saat diantar”(cash on delivery). 

Kedua, sebelum membeli barang, baca deskripsi barang dengan teliti dan hati-hati. Penjual yang baik akan menyediakan keterangan yang detail untuk produk yang dijualnya. 

Jika ada istilah-istilah yang tidak dimengerti, langsung gunakan jurus sejuta umat, bertanya pada mbah Google. Dengan begitu, kita bisa membayangkan gambaran produk yang akan kita beli. 

Semudah membeli dengan jari, gunakan pula jari itu untuk mencari informasi seputar produk.(Sumber foto: Warranteer.com)
Kalau sekiranya barang yang kita terima tidak sesuai dengan kenyataan yang tadinya sudah dijelaskan di deskripsi barang, kita berhak untuk menuntut hak kita.

Seperti yang diatur undang-undang tadi, dilansir dari harkonas.id, hak konsumen adalah memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa. 

Kita bisa melaporkan pengaduan langsung pada pelaku usaha mengenai keberatan tersebut. Biasanya penjual yang bertanggung jawab akan meminta kita untuk mengembalikan barang tersebut dan menggantinya.

Apabila pelaku usaha menolak untuk bertanggung jawab, kita bisa melaporkannya pada Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) setempat. 

Jika persoalannya lebih keruh ada baiknya melapor ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dinas terkait, dan juga pos-pos lain yang melayani pengaduan konsumen. Sebetulnya sama saja seperti yang berlaku pada transaksi konvensional. 

Koncer wajib kenali produk
Semua produk barang dan jasa di pasar konvensional maupun pasar online dijual produsen dengan harapan konsumen akan royal dan boros untuk membeli. Inilah kenyataannya. 

Mana ada penjual yang ingin jualannya tidak laku. Karena itu, sebelum membeli kita juga mesti cermat, jangan sampai kejadiannya sama seperti yang saya alami dulu, karena rayuan dan bujukan eh malah tertipu. 

Karena itu terbiasalah untuk lebih awas terhadap produk yang akan dibeli. Jangan mudah terpengaruh dengan iming-iming yang merupakan strategi pemasaran halus dari produsen. 

Misal, ketika produsen menggembar-gemborkan produk baru. Jangan langsung tergiur untuk membeli, cobalah untuk selidiki dulu.
Kita contohkan produk pembersih seperti sabun, deterjen, atau sampo. Hingga saat ini sudah berapa banyak produk keluaran baru untuk jenis ini. Rata-rata produsen mempromosikan produk baru itu dengan klaim bahwa produknya memiliki zat atau teknologi terbaru. Istilah-istilah asing dipakai di iklan, sehingga terdengar ilmiah dan canggih. 

Konsumen cerdas di era digital seharusnya lebih kritis dalam hal ini. Cobalah untuk mencari tahu informasi mengenai kelebihan produk itu, apakah memang benar lebih canggih dan lebih baik dari produk yang biasa kita gunakan. Jika tidak, kenapa harus membelinya? Jika ternyata komposisinya sama, buat apa membeli produk baru?  

Dengan berkembangnya teknologi informasi masa kini, kita lebih mudah untuk mencari penjelasan mengenai kondisi barang dan jasa. Setiap kali kita akan membeli, perhatikanlah label dan garansi produk itu. Khususnya produk makanan, minuman, obat dan kosmetik. Kalau membeli barang-barang ini secara online pun, pastikan menerimanya dalam keadaan terbungkus dan memiliki label. 

Jadi konsumen cerdas dengan membaca dan memahami informasi pada label produk. (Sumber foto Shapefit.com)
Soal membaca label, kita bisa dibantu pengetahuan gratis dari internet. Pastikan untuk membaca komposisi barang tersebut, tanggal kedaluwarsa, efek samping, aturan pakai, dan masa berlakunya. Ingat baru-baru ini heboh soal minuman kemasan yang ternyata tidak boleh dikonsumsi anak di bawah lima tahun? Produsen mencantumkannya, tetapi agaknya konsumen abai terhadap peringatan penting itu. 

Kalau membeli produk telematika dan elektronika, biasakan untuk membaca review di internet. Dari situ kita bisa mengenali produk palsu atau tidak, kualitas barang, juga kelebihan dan kekurangannya. 

Satu hal yang paling penting, barang diberikan petunjuk penggunaan (manual) dan ada jaminan garansi. Kalau tidak memenuhi syarat di atas tadi, sebaiknya tahan diri untuk membeli atau beli saja langsung di toko offline resmi.

Oh ya, perhatikan pula jenis produk yang dijual apakah sudah bertanda SNI atau belum. Akan lebih ada jaminan kepastian untuk kesehatan, keamanan, dan keselematan konsumen/lingkungan (K3L) kalau sudah ada tanda SNI-nya.

Batasi perilaku konsumtif
Sebelum kita membeli barang tertentu, kita perlu ingat betul-betul hal ini dalam kepala: produsen akan melakukan apa saja agar kita selalu membeli produknya. Agar kita tidak berhenti membeli, produsen akan bikin strategi pemasaran tanpa henti. 

Ambil contoh, kalau Anda sadar, biasanya perusahaan dengan nama besar pasti selalu mengeluarkan produk-produk baru dan bervariasi. Ada untuk perempuan dewasa, gadis remaja, anak perempuan, dan sebaliknya juga begitu produk untuk laki-laki pun dikhususkan. 

Padahal tidak semua produk lo, harus dibeda-bedakan seperti itu. Tetapi itulah strategi pasar yang sering tidak kita sadari. Konsumen yang sudah percaya dengan merek dagangnya, pasti akan tertarik untuk membeli.

Mungkin inilah awal mula perilaku konsumtif, karena produk dan jasa yang ditawarkan pun semakin banyak. Tentu kita tidak bisa membendung hal ini, tetapi kita bisa menahan diri. Caranya? Belilah barang sesuai dengan kebutuhan, bukan keinginan. Jika selalu menuruti keinginan, kita akan semakin mudah tergiur untuk membeli. 

Konsumen cerdas tidak kecanduan belanja online. (Sumber foto: refan.bg)

Mudah dan praktisnya belanja online juga bikin perilaku konsumtif kita meningkat. Coba hitung jumlah barang yang Anda beli melalui belanja online, Anda sendiri mungkin akan kaget dibuatnya. Hati-hati, sebab belanja online itu sifatnya candu. Kalau kita tidak menguasai diri, bisa-bisa kita kalap dan lupa diri. 

Terakhir, keuntungan adanya sistem belanja online saat ini memudahkan kita untuk membeli produk dalam negeri yang berkualitas. Misalnya kita bisa mendapat barang asal pulau lain dengan lebih mudah melalui transaki online.

Dulu ketika saya masih polos, selalu berpikir kalau produk luar negeri pasti lebih bagus, makanya saya tertipu seperti cerita saya di awal tadi. Tetapi di era digital ini, belanja produk dalam negeri menjadi lebih mudah. Selain meningkatkan rezeki produsen dalam negeri, membeli produk Indonesia juga bikin kita bangga. 

Nah bagaimana sekarang, siap menjadi konsumen cerdas di era digital?
Kalau saya sih, siap! 




Comments

Popular posts from this blog

LEBIH DEKAT MERASAKAN ALAM BERASTAGI

MUSEUM PUSAKA KARO SERPIHAN SEJARAH DI KOTA BERASTAGI

Ada Masa Depan Cerah Bagi Ekonomi Syariah: Yuk Investasi Logam Mulia!