Tolong Ibuku, Puang Tene!

Tak semua perempuan memiliki hati seperti Rohani Dg Tene (42). Perempuan asal Sulawesi Selatan ini, sudah menghabiskan separuh usianya untuk menolong para ibu hamil di kampungnya.

Penulis: Tika Anggreni Purba

--

Hari ini panen kunyit di kebun. Rohani bersama suaminya, Muso Dg Nai (72) tengah sibuk mengumpulkan kunyit ke dalam karung. Rencananya kunyit-kunyit itu akan dijual ke pasar sore nanti. Hasil penjualan kunyit untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Belum lagi karung kunyit Rohani penuh, dari kejauhan terdengar seseorang berteriak memanggil. “Puang Tene! Puang Tene! Tolong ibuku,” serunya. Sontak saja Rohani melempar kunyit yang ada dalam genggamannya, segera berlari menuju arah suara. Muso mengikut dari belakang.

“Ada apa?” tanya Rohani pada anak laki-laki yang memanggilnya. Anak itu memberitahu bahwa ibunya yang kini tengah mengandung akan melahirkan. Rohani dan suaminya bergegas ke rumah anak laki-laki itu.  

Si ibu hamil terlihat meringis kesakitan, tidak kuat diajak berjalan. Muso lalu mengajak suami si ibu itu untuk mencari dua kursi plastik dan bambu. Mereka membuat tandu darurat untuk membawa si ibu hamil di atasnya. Kedua kursi itu diikat erat pada dua bilah bambu, di atasnya dibuat bantal. Si ibu hamil kemudian dinaikkan ke atas tandu.

Pagi menjelang siang itu, mereka berjalan beriringan menuju Puskesmas yang ada di kota. Tak ada kendaraan yang bisa ditumpangi, sebab jalan dari desa mereka, desa Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan menuju Puskesmas tak bisa dilewati kendaraan. Karena kontur tanah yang curam, serta jalan setapak yang kecil tidak memungkinkan sepeda motor atau mobil untuk lewat.  

“Jangan sampai melahirkan di jalan, “ ucap Rohani dalam hati selama dalam perjalanan. Sebab untuk mencapai jalan raya dari desa, mereka harus menempuh waktu sekitar satu jam lebih. Berjalan kaki melewati medan yang tidak mudah. Dua kali harus melewati jembatan bambu, sebelum menemukan angkutan yang bisa membawa mereka ke Puskesmas.

Syukurlah, mereka tiba di Puskesmas  tepat waktu. Bidan langsung bergerak cepat menolong ibu hamil itu. “Alhamdullilah,” ucapnya lega sambil tersenyum melihat suaminya yang tengah mengipas keningnya yang berpeluh.

 

Bukan bidan 

Begitulah yang terjadi pada Rohani setiap kali ibu hamil di kampung mereka akan melahirkan. Ia bukan bidan, apalagi dokter. Ia hanya perempuan biasa, lulusan SMP, yang memiliki kepedulian tinggi terhadap keselamatan ibu hamil. Sejak tahun 1993, berarti sudah 20 tahun, ia berdedikasi untuk menyelamatkan para ibu hamil di kampungnya. Caranya sederhana, namun dampaknya luar biasa.

Selama menjadi relawan/kader Puskesmas, Rohani semakin sadar betapa pentingnya memperhatikan kesehatan ibu hamil. Masalahnya masyarakat desa mereka masih jauh dari kesadaran itu. Dulu, sebelum Rohani menjadi relawan, kebanyakan para ibu melahirkan sendiri di rumah.  

Plasenta/ari-ari bayi dipotong dengan menggunakan cambile , yaitu sebilah bambu yang dijadikan sebagai pisau. Akibatnya, banyak ibu yang mengalami pendarahan, tidak tertolong. Belum lagi dampak lain, seperti bayi mengalami infeksi, bahkan meninggal.

Sejak Rohani menjadi relawan, keadaan para ibu hamil mulai berubah. Walau tidak ada bidan dan tenaga kesehatan di desa itu, kini para ibu hamil mulai diberikan pencerahan untuk pergi memeriksakan kehamilannya ke Puskesmas. Dengan sabar, Rohani yang dipanggil dengan sebutan Puang Tene itu, melayani para ibu itu. Ia setia untuk mengantarkan ibu hamil ke Puskesmas, untuk periksa kehamilan.  

“Banyak ibu hamil yang malu datang ke Puskesmas kalau tidak ditemani,” ungkapnya. Para ibu itu mengaku malu jika perut buncitnya dipegang oleh bidan atau dokter. Di situlah Rohani berperan meyakinkan mereka, kalau rutin diperiksa oleh bidan di Puskesmas, kehamilan mereka akan lebih sehat dan terpantau. Agar si ibu hamil lebih yakin, Rohani bersedia mengantarnya setiap kali jadwal pemeriksaan tiba.

Menurut Rohani, sebagai sesama perempuan harus saling memperhatikan. Ibu enam anak ini mengaku, apa yang dilakukannya adalah bagian dari kasih dan kepeduliannya terhadap mereka. Ia tak pernah mendapat bayaran apa-apa. Hanya rasa lega dan bahagia, melihat setiap ibu hamil yang ditolongnya bisa melahirkan dengan pertolongan bidan. Ibu dan anak juga dalam keadaan sehat.

Ia sendiri merasakan perbedaan yang berarti sebelum dan sesudah ia menjadi relawan. Misalnya kesadarannya untuk membawa anak-anaknya untuk diimunisasi. Dan hasilnya, anak-anaknya memang terlihat lebih sehat dan pintar. Rupanya, melihat kondisi anak-anak Rohani, para ibu di desanya termotivasi. Akhirnya mereka lebih terbuka untuk mengikuti Posyandu dan berkonsultasi ke Puskesmas.  

Melahirkan dalam perjalanan

Menurut penuturan Rohani, masih mending perjalanan dari desa mereka ke puskesmas hanya menempuh waktu 3-4 jam. Masih banyak desa yang lebih jauh lagi. Seperti desa Mak Lenteng di kabupaten Gowa. Dulu sebelum kendaraan bisa melewati daerah itu, mereka harus berjalan kaki selama enam jam dari desanya menuju Mak Lenteng.

Pernah satu kali, ketika Rohani menolong salah seorang ibu hamil dari sana. Dalam perjalanan, si ibu keburu melahirkan di jalan, di atas tandu darurat yang mereka buat. Awalnya mereka tidak menyadari, tapi ketika mengetahuinya, mereka pun mempercepat langkah menuju Puskesmas. Mereka tidak ingin mengambil risiko memotong plasenta di jalan. 

Baru sesampainya di Puskesmas, ibu dan bayi langsung ditangani petugas kesehatan. Kejadian ini, sebut dia, beberapa kali terjadi sebelum ada angkutan menuju Mak Lenteng. Tapi Rohani mensyukuri, selama kiprahnya menjadi relawan, tidak ada satupun ibu hamil yang harus meninggal di jalan.

Di sela-sela kesibukannya itu, ia berladang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Keluarga Rohani menanam cabai, kunyit, dan sayuran.

Setiap panen kunyit, bisa sekitar 20 karung. Lalu Rohani akan membawanya ke pasar untuk di jual. Uniknya, di pasar, Rohani tidak hanya berjualan. Tapi juga mengingatkan ibu hamil di pasar untuk datang ke Puskesmas.

“Biasanya saya datangi ibu hamil itu dan bertanya apakah dia sudah periksa kehamilan ke Puskesmas atau belum, “ ujarnya polos. Kalau belum, ia akan menawarkan bantuan untuk menemani si ibu. Soalnya Rohani paham betul, banyak ibu hamil yang takut datang ke Puskesmas.  

Karena kebiasaannya itu, di pasar ia selalu disegani. Setiap kali ia datang untuk berjualan, orang-orang di pasar berbisik-bisik. “Itu Puang Tene, si kader,” kata mereka. Artinya hampir semua orang sudah mengenal Rohani sebagai relawan di Puskesmas.

Siap sedia kapan saja

Terkadang aktivitas memasak di dapur pun ditinggalkan ketika mendadak ada warga yang mau melahirkan,” kisah Rohani. Menurutnya, menjadi relawan memang harus begitu, siap sedia kapan saja dibutuhkan. Ia juga sadar betul, dedikasinya terhadap kesehatan ibu hamil ini memang membutuhkan pengorbanan. 

Tapi, aku Rohani, selama kakinya masih bisa berdiri dan tubuhnya masih sehat, ia tidak akan berhenti dari pekerjaan baik ini. Niatnya tulus untuk membantu sesama. Apalagi kebanyakan warga juga merasa terbantu dengan kebaikan hati Rohani. Mereka merasa lebih nyaman kalau datang ke Puskesmas bersama si Puang Tene.

Rohani memang berusaha mendapatkan hati para ibu itu. Misalnya dengan perlakuan yang lemah lembut dan pendekatan yang tidak membuat para ibu semakin enggan datang ke Puskesmas.

Walau tidak mendapat imbalan, Rohani ikhlas dalam aksinya. Baginya, rezeki itu sudah diatur oleh Tuhan. Sehingga ia tidak pernah merasa rugi ketika menolong orang lain. Bagi Rohani tahun lalu melayani enam ibu hamil ini, rezeki bukan melulu soal uang. Karena rupanya kebaikannya juga berbalas kebaikan.

“Kadang ketika saya sakit, warga yang pernah saya tolong datang ke rumah untuk membantu saya dalam pekerjaan rumah tangga,” kata Rohani dengan tatapan penuh syukur.

 

Pernah dicibir

Begitulah kehidupan, walau kita melakukan perbuatan baik, kadang-kadang juga masih dicibir. Rohani juga tidak luput dari itu. Berhubung karena secara garis keturunan, Rohani berasal dari keturuan darah biru, namanya keturunan Balasuka. Sebetulnya jika diukur dari kasta masyarakat setempat, ia seharusnya tidak pantas menolong kaum lain. Itulah sebabnya ia disapa dengan sebutan puang.

“Ada yang bilang, Puang Tene keturunan raja, mau-maunya menyusahkan diri tengah malam untuk bantu orang lain,” ujar Rohani. Tapi omongan orang itu diabaikan Rohani. Ia sudah mantap untuk menolong orang lain tanpa memandang golongan.  

Selain itu, keluarga intinya sangat mendukung apa yang dilakukannya. Suami dan anak-anaknya sekalipun tidak pernah mengeluh. “Makan nasi dengan garam dan lombok saja mereka mau, ketika saya tidak sempat memasak untuk mengantar ibu hamil,” tutur lulusan SMP Negeri Tembolok Pao ini.

Pertemuan Intisari dengan Rohani saat itu adalah pertama kalinya dirinya menginjakkan kaki di Jakarta. Hari itu juga adalah pengalaman anak ketiga dari 10 bersaudara ini naik pesawat terbang. 

Dan hatinya bangga, sebab di hadapan banyak orang, ia menerima penghargaan dari GE Healthcare dan Women in Global Health sebagai The Heroines of Health, bersama dengan 13 perempuan pejuang kesehatan lainnya dari 11 negara di dunia.“Saya sangat bersyukur, terima kasih,” pungkasnya dengan mata berkaca-kaca. Tetap semangat melanjutkan perjuanganmu Puang Tene!

Comments

Popular posts from this blog

LEBIH DEKAT MERASAKAN ALAM BERASTAGI

MUSEUM PUSAKA KARO SERPIHAN SEJARAH DI KOTA BERASTAGI

KASIH JUMPAI AKU DISANA