Tak Ada Saling Pengertian di Gerbong Khusus Perempuan
Ada pendapat ekstrem mengenai gerbong khusus perempuan di kereta komuter Jabodetabek: seram, brutal, kasar, dan barbar! Seburuk itukah suasana di gerbong cantik itu?
Penulis: Tika Anggreni Purba
--
“Tas sayaaa! Tas sayaa!!” teriak seorang perempuan muda berkerudung cokelat ketika mencoba keluar dari pintu gerbong khusus perempuan kereta komuter yang berhenti di Stasiun Manggarai, Jakarta.
Rupanya badannya sudah keluar, namun terseret lagi ke dalam, karena tasnya tersangkut di serbuan penumpang perempuan lainnya yang ingin masuk. Wajah perempuan itu gusar, hampir saja tasnya tertinggal, karena penumpang baru yang tidak memberi kesempatan padanya untuk turun. Begitulah gambaran sehari-hari sistem keluar masuk gerbong khusus perempuan.
“Tidak berperasaan sama sekali, saya seperti terseret ombak, enggak bisa dilawan,” kisah Sondang (26), karyawan swasta di Jakarta. Pernah suatu kali ia menumpang kereta komuter berangkat dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Cawang. Pertama kali masuk, cerita Sondang, gerbong cantik itu tidak begitu padat. Namun sesampainya di Stasiun Sudirman, barulah ia merasakan ‘terjangan ombak’ itu. Ia tak kuasa menahan dorongan penumpang yang baru masuk kereta. Dirinya terhimpit, tak bisa bergerak.
Lain cerita dengan Sarifa (29), pertama kali ia menggunakan layanan kereta rel listrik (KRL) rasanya terkejut batin. Kejadiannya sama seperti Sondang, ketika harus berangkat pukul 17.00 dari Stasiun Tanah Abang untuk transit di Stasiun Manggarai.
“Saya kaget banget, ketika berhenti di Stasiun Sudirman, ternyata sudah banyak penumpang yang menunggu, begitu pintu dibuka, penumpang langsung menyerbu pintu,” kisahnya. Persaingan di gerbong cantik yang didominasi warna pink ini memang luar biasa. Mungkin lebih heboh dari antrean midnight sale.
Tak secantik gerbongnya
Sejak dioperasikan tahun 2010 lalu, gerbong perempuan didesain agar nyaman bagi para penumpang perempuan. Suasananya dibuat bersih, sejuk, dan lembut dengan nuansa pink. Dari setiap rangkaian kereta, dua gerbong pertama dan terakhir, khusus bagi perempuan.
Tujuannya, agar perempuan merasa lebih aman, jauh dari incaran pelaku pelecehan seksual. Dua tahun berjalan, suasana gerbong itu masih selembut warna pink-nya. Namun setelah itu, situasi gerbong perempuan menjadi beringas. Apalagi jika Anda harus naik dari stasiun yang ramai. Misalnya Stasiun Tanah Abang dan Stasiun Manggarai. Pernah di hari Sabtu Siang, Syikha (26), berangkat dari Tanah Abang menuju Bekasi.
Matahari terik sekali dan Stasiun Tanah Abang begitu ramai padat. Memang begitu suasana stasiun di akhir pekan. Wajar saja sebab berdekatan dengan pasar . Umumnya para penumpang yang naik adalah orang-orang yang baru selesai berbelanja. Dan tentu saja, tas, plastik, bahkan karung belanjaan itu membutuhkan ruang lebih ketika masuk kereta.
Syikha cukup jengkel karena hari yang panas. Dan makin menjadi ketika masuk gerbong khusus perempuan. “Barang belanjaan itu juga bikin makin sesak,” tutur perempuan berambut ikal itu. Belum lagi para ibu yang membawa anak-anak. Selain kasihan anak-anak tersebut tergencet, anak-anak juga biasanya berisik.
“Hari itu ada anak kecil yang kejatuhan barang belanjaan dari bagasi, akhirnya dia nangis meraung-raung,” kata Shyika lagi. Si pemilik barang tak berhenti meminta maaf. Penumpang lain mulai berkomentar. Ada yang berusaha mendiamkan si anak, ada juga yang nyinyir.
Terkenal sadis
Setiap hari, Agustina (28) menggunakan kereta komuter dari Jakarta Kota- Bekasi untuk berangkat kerja. Namun dua tahun terakhir, ia mengaku jera naik gerbong khusus perempuan. Kecuali terpaksa, ia enggan naik gerbong pink itu.
“Gerbong cewek itu paling sadis, enggak ada rasa kasihan, horor banget,” katanya bergidik. Untuk masuk ke gerbong itu, tutur Tina, membutuhkan mental yang kuat dan garang. Kalau tidak sanggup melawan, ya pasti hanya bisa diam ketika diperlakukan kasar.
Di gerbong perempuan, jauh lebih riuh ketimbang gerbong lainnya. Karena biasanya yang naik itu rombongan para ibu-ibu, yang tidak berhenti ngobrol sepanjang perjalanan walau situasi penuh sesak. Ada juga penumpang yang suka berteriak jika kenyamanannya terganggu. Belum lagi yang mengeluh dengan cibiran-cibiran.
Enggak muat Mbak! Sempit banget Bu! Jangan didorong dong! adalah kalimat yang paling sering diserukan di situ. Kalau penumpang yang cuma bisa mengeluh dalam hati, lebih baik tidak menggunakan layanan gerbong ini.
“Karena pasti enggak kuat, sepanjang jalan bisa-bisa kita kena makian atau wejangan dari ibu-ibu yang rempong,” kata Tina lagi. Kalaupun si penumpang mengucap maaf, bagi penumpang perempuan yang garang, tiada maaf di antara kita.
Perilaku kasar dan tanpa maaf itu, sebetulnya tidak mencerminkan karakter perempuan yang dikenal lembut. Perempuan sepertinya berubah menjadi sosok lain setibanya di gerbong perempuan. Salah satunya enggan berbagi kalau sudah masuk gerbong. Jangankan bangkit dari tempat duduk, kebanyakan penumpang yang duduk malah pura-pura tidur. Jarang sekali ada yang mau bergantian memberi tempat duduk bagi penumpang yang sudah lama berdiri.
Sikap tolong-menolong pun seakan sirna di gerbong ini. Semua lebih mementingkan kepentingannya sendiri. Tina yang sudah ogah naik gerbong ini mengaku pernah terjatuh didorong ketika masuk gerbong. Jangankan membantu, melirik pun tidak.
“Tidak akan ada satupun orang yang akan menolong di antara penumpang,” ucap Tina. Karena itu, saran Tina, gunakanlah masker, kalau-kalau saja sedang sial dan terjatuh di gerbong perempuan, tidak malu-malu amat. Sebab menurut Tina, para penumpang biasanya mengenali wajah-wajah perempuan lemah di gerbong.
Ibu hamil dilarang masuk
Bagi yang biasanya menumpang di gerbong perempuan, tak ada kata prioritas di sana. Semuanya setara. Seruan, makian, teriakan para penumpang hanya bisa bikin petugas keamanan geleng kepala. Bahkan untuk penumpang prioritas pun tidak ada ampun. Tak jarang ibu hamil malah dibuat keki. ‘Sudah tahu hamil, naik kereta jam segini!” teriak seorang penumpang ketika seorang ibu hamil meminta duduk di bangku prioritas.
Ada juga yang tega menyumpahi ibu hamil dengan kalimat-kalimat sindiran seperti: “enak bener jadi orang hamil, tinggal duduk, tinggal tidur!” Ada juga yang memang tidak mau mengalah memberi bangkunya, dengan alasan sudah duluan naik dan mendapatkan bangku itu.
Jam-jam sibuk menjadi puncak keganasan gerbong ini. Tidak hanya berlaku di hari biasa, di hari Sabtu dan Minggu pun tak ada bedanya. Pada hari kerja, rata-rata jumlah pengguna KRL mencapai 850ribu orang, berdasarkan data PT KAI Commuter Jabodetabek, 2016. Ya, bayangkan saja harus berjibaku di antara begitu banyak orang setiap hari. Saling sikut dan adu mulut jadi pemandangan biasa.
Persoalan ibu hamil ini adalah ironi. Memang, ibu hamil harus diistimewakan sebagai penumpang prioritas. Namun tampaknya itu tidak berlaku di gerbong pink ganas. Karena itu kebanyakan ibu hamil memilih untuk ke gerbong umum. “Lebih manusiawi di gerbong umum, penumpang pria juga lebih rela memberi tempat duduk,” tutur Sofie (29).
Sofie mengaku, ia baru menggunakan kereta komuter sejak pindah rumah ke Depok. Pada awalnya, ia masih belum memahami betapa tidak manusiawinya gerbong cantik itu. Pertama kali ia menggunakan layanan gerbong cantik ketika hamil, ia menerima pengalaman yang tidak enak.
“Sebetulnya tidak begitu ramai, namun ketika saya minta bangku prioritas karena hamil, tidak ada yang mau mengalah,” ceritanya. Untuk memperjuangkan haknya, Sofie mencari pertolongan pada security. Akhirnya security yang mencarikan bangku untuk Sofie. Sejak itu, Sofie kapok naik gerbong pink. Baginya lebih baik di gerbong umum, karena biasanya pria akan segan jika tidak memberi bangku untuk perempuan hamil.
Kalau mau melihat aslinya perempuan itu, mampirlah ke gerbong pink. “Secantik apapun ia, dipoles dengan make up, kalau sudah di gerbong ini, akan kelihatan kesangarannya,” gurau Adelina (30).
Terbawa suasana
Secara psikologis, keganasan para perempuan di gerbong pink memang dapat dipicu oleh para perempuan yang menjunjung tinggi kesetaraan. Toh sesama perempuan kok, sehingga tidak ada yang mau mengalah. Semua merasa harus diistimewakan.
Ego kesetaraan itu seolah membawa pemikiran bahwa semua perempuan memiliki hak yang sama untuk duduk nyaman di situ. Tidak ada yang harus diperlakukan khusus, apakah itu ibu hamil, lansia, membawa anak, bahkan sakit sekalipun.
Perjuangan untuk keluar dan masuk gerbong setiap hari juga dapat memicu stres, akibatnya simpati dan empati terkikis. Penelitian yang dilakukan pada lebih dari 1.300 orang partisipan oleh Harvard University dan Columbia University menemukan faktanya. Faktanya, orang yang merasa cemas, marah, tertekan, dan lelah sulit untuk berempati pada orang lain.
Seluruh partisipan itu diminta untuk menuliskan pengalaman mengenai apa yang mereka rasakan ketika menghadapi beberapa situasi yang menyentuh emosi. Ditemukan bahwa orang yang merasa cemas dan stres pada saat itu cenderung menjawab dengan jawaban yang egosentris. Dengan kata lain, orang-orang yang stres sulit untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain. Semakin stres, maka ego akan semakin kuat.
Buktinya, saking kerasnya perjuangan berebut tempat di gerbong perempuan, semua penumpang menjadi tidak acuh. Pernah cerita seorang pengguna Kaskus, selama tiga hari berturut-turut ada yang pingsan di kereta. Aneh dan ajaibnya, tidak ada seorangpun yang menolong orang yang pingsan itu. Rata-rata reaksinya datar, hanya melirik lalu buang muka pura-pura tidak tahu. Sebagian lagi, sibuk dengan ponselnya. Sungguh parah.
Tidak
hanya soal hilang empati, penumpang gerbong wanita pun dipenuhi keluhan dan
protes. Bahkan ada penumpang yang sanggup mengeluh dari awal naik kereta sampai
turun di tempat tujuan. Perasaan juga menjadi sensitif, tersenggol sedikit
langsung sewot. Perilaku agresif penumpang perempuan di gerbong wanita juga
membuktikan betapa tingginya persaingan antarperempuan. Walaupun itu hanya
sekadar berebut bangku.
Untuk hal ini, memang sulit untuk mencari siapa yang harus bertanggung jawab. Sebab di satu sisi, layanan transportasi Jabodetabek ini memang belum dapat melayani seluruh penumpang dengan sempurna. Apalagi gerbong perempuan yang hanya berjumlah empat gerbong. Penumpang membludak, sayangnya sarana yang ada belum dapat menopang semua itu.
Di sisi lain, sebagai perempuan, kaum yang diagungkan memiliki karakter lemah lembut dan peduli, juga perlu mengevaluasi diri. Jangan sampai terkikisnya empati menghilangkan sikap kepedulian, kelembutan, dan kecantikan hati.
Comments
Post a Comment