Aroma hujan tak seenak yang kau sebutkan.
Aku baru saja menertawainya, dia seolah tahu isi hatiku yang kututup rapat. Ah, hujan, hujan..
jangan-jangan Penciptamu yang menyuruhmu ya?
Penulis: Tika Anggreni Foto: Teguh Irmansah Kabut yang menjadi pemandangan sehari-hari di Berastagi justru suasana yang dicari-cari. Kabut menunjukkan kesejukan kota kecil ini, tak heran banyak sekali orang tak bosan-bosannya mengunjunginya. Berastagi di Malam Hari Walau hujan abu vulkanik juga memberi dampak bagi Berastagi, kota ini tak serta merta kehilangan pesonanya. Udara Berastagi masih sama, hujan bulan Desember yang mengguyur dapat menyapu bersih sisa-sisa abu vulkanik dari Gunung Sinabung yang tengah erupsi. Berastagi terletak di dataran tinggi, Tanah Karo. Udara sejuk mulai terasa mulai dari perbatasan kabupaten Deli Serdang dan Tanah Karo. Jika udara dingin, daerah penatapan akan dipenuhi kabut tebal. Waktu yang tepat untuk berhenti sejenak di Penatapan. Secangkir kopi panas dan jagung rebus bisa menjadi penghangat sembari menatap pemandangan. Jika malam hari tiba, pemandangan dari atas penatapan menjadi lebih menarik, memandangi kota dengan ke...
MUSEUM PUSAKA KARO SERPIHAN SEJARAH DI KOTA BERASTAGI Tak banyak orang yang mau mengumpulkan serpihan-serpihan sejarah. Namun tidak dengan Pastor Joosten Leonardus Edigius, beliau yang bukan berasal dari Indonesia dengan rela hati merintis sebuah museum. Museum Pusaka Karo namanya. Letaknya tepat di tengah Kota Berastagi. Museum ini berada di Jalan Perwira No 3, tepat di sebelah Tugu Perjuangan 45 Berastagi dan Pasar Buah. Belum lama berdiri, bangunan ini telah menjelaskan banyak sekali penjelasan tentang sejarah milik rakyat Karo. Bangunannya sendiri adalah bekas gereja Katolik Berastagi yang telah diserahkan oleh keuskupan Medan untuk dijadikan museum yang menyimpan benda-benda pusaka Karo. Museum Tampak Depan Awal perintisannya dimulai dengan keprihatinan akan museum Karo di Desa Raya yang tidak difungsikan secara maksimal pada tahun 70an. Seorang misionaris Belanda bernama Joosten Leonardus Edigius atau yang lebih dikenal sebagai Pastor Leo Joosten Ginting ...
Sebenarnya ini ditulis pada 19 Agustus 2024 Saya tidak pernah mengenali diri sebagai orang yang pemarah sebelumnya. Tapi, sejak delapan bulan terakhir, saya menemukan ternyata di dalam diri ini banyak sekali menyimpan amarah, bahkan sampai kepada level terkejut ternyata kemampuan saya untuk marah sampai sejauh itu. Dalam refleksi, sebuah momen menyedihkan menjadi asal muasalnya. Iya, saat ibu saya berpulang. Saat itu, walau saya tampak lebih tenang dibandingkan saat ibu kandung saya berpulang, ternyata perasaan dan pikiran saya karut marut. Momen itu terasa sangat menyedihkan, dan membuat saya sangat marah pada keadaan. Saya menyadari mengapa kematian adalah peristiwa paling mengerikan bagi siapapun yang tidak siap. Saya bahkan mengutuki adam dan hawa karena seandainya mereka tidak jatuh ke dalam dosa, dunia ini tidak akan pernah mengenal apa itu kematian. Bagi mereka yang telah berpulang, perjuangannya mungkin sudah selesai, iman akan menentukan kemana dia pergi. Te...
Comments
Post a Comment